Selama ini ada anggapan bahwa Pahlawan adalah
setiap orang yang semasa hidupnya berperang melawan penjajah sedangkan yang
bersekutu atau berkolaborasi dengan penjajah disebut penghianat. Lebih menarik
lagi banyak dijumpai dalam tulisan sejarah dikatakan bahwa para pejuang yang
melakukan
perlawanan kepada penjajah sering ditulis sebagai seorang pemberontak
atau pengacau (rebellion). Sejak bangsa asing kulit putih seperti Portugis,
Inggris dan Belanda datang ke negeri yang
kemudian bernama Indonesia, mereka menjumpai bahwa di negeri yang sering
disebut dengan Nusantara telah berdiri kerajaan - kerajaan tradisional. Dengan
dalih berdagang atau atas dasar motif ekonomi serta melalui praktek monopoli
dagang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar ditunjang dengan hak
oktroi yaitu hak untuk menggunakan kekuatan meliter dalam perdagangan, bangsa
asing kulit putih mulai menancapkan kuku kekuasaannya di Nusantara.
Kemudian terjadilah berbagai konflik
antara bangsa kulit putih dengan penguasa penguasa lokal yang ada di kerajaan
tradisional di Nusantara. Muncullah kemudian perlawanan perlawanan rakyat yang
bertujuan mengusir penjajah yang biasanya dipimpin oleh raja ataupun tokoh
lokal atau tokoh agama. Sifat perlawanan masih kedaerahan dan belum
terorganisir dengan baik kemudian sangat tergantung kepada pigur pemimpin
central. Karena itu penjajah begitu mudah menumpas berbagai perlawanan dan
dengan menggunakan hak exorbitante rechten yaitu hak untuk mengasingkan atau
membuang para pemimpin perlawanan ke daerah daerah lain di Nusantara,
perlawanan rakyat disuatu daerahpun kemudian biasanya berakhir. Diaspora
Pengasingan para pemimpin tradisional ke berbagai pelosok Nusantara
mengakibatkan terjadinya ikatan emosional antar daerah yang kemudian menjadi
salah satu unsur perekat pembentukan keindonesiaan saat ini. Sebagai contoh bagaimana eratnya hubungan
emosional masyarakat Kupang dengan masyarakat Bangka karena pembuangan Depati
Amir dan Depati Hamzah ke Desa Air Mata Kupang. Mayoritas masyarakat muslim
Kupang dengan menggunakan Fam Bahrain adalah keturunan Depati Amir dan Depati
Hamzah.
Kebanyakan pemimpin tradisional yang melawan
penjajah pada masa kemerdekaan atau pada
masa sekarang mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Sebagai contoh
pemimpin kerajaan tradisional seperti Hasanuddin dari Makassar diangkat menjadi
Pahlawan Nasional karena berperang melawan Belanda, sedangkan yang menentangnya
seperti kerajaan Buton dan Bone disebut sebagai penghianat karena dalam perang
bekerjasama dengan Belanda. Peristiwa sejarah kenapa Buton dan Bone bekerjasama
dengan penjajah Belanda perlu mendapat penjelasan secara komperehensif dalam
tulisan sejarah terutama yang berhubungan dengan hubungan antar kerajaan pada
waktu itu, apalagi pada masa itu apa yang disebut dengan negara Indonesia belum
ada dan belum terbentuk sehingga penyebutan sebagai penghianat dilogikakan
sangat tidak tepat.
Pahlawan Nasional adalah sebuah gelar yang
diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada seseorang Warga Negara Indonesia
yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar
biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan tindak kepahlawanan adalah
perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga
masyarakat lainnya. Memperhatikan kriteria kriteria dari pemerintah tentang
penetapan seseorang menjadi Pahlawan Nasional yaitu seseorang yang telah
meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan
bersenjata atau perjuangan politik, telah melahirkan gagasan atau pemikiran
besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, telah mendatangkan
karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas,
pengabdian dan perjuangannya berlangsung hampir sepanjang hayat (tidak sesaat)
dan melebihi tugas yang diembannya, perjuangan yang dilakukan mempunyai
jangkauan luas dan berdampak nasional, memiliki konsistensi jiwa dan semangat
kebangsaan/nasionalisme yang tinggi, memiliki akhlak dan moral yang tinggi dan
tidak pernah menyerah pada lawan serta dalam riwayat hidupnya tidak pernah
tercela yang dapat merusak nilai perjuangan. Jadi sebenarnya dapat disimpulkan
bahwa beberapa kriteria di atas sangat
berat dan hampir tidak masuk akal seolah olah seorang pahlawan di Indonesia
adalah manusia super atau manusia dewa yang tidak memiliki kekurangan atau cela
apapun. Sangat berbeda dengan pemberian gelar pahlawan di negara seperti
Amerika yang sangat objektif penilaiannya, misalnya ketika seorang dalam sebuah
pertempuran dalam rangka membela negara melawan musuh dia harus kehilangan
kakinya, maka untuk mengenang jasa kepahlawanannya akan di buat patung kaki
sang pejuang. Pemberian dan penganugerahan gelar pahlawan di Indonesia memang
sangat subjektif, Masyarakat Bangka Belitung pernah berusaha untuk mengusulkan
Depati Amir seorang pemimpin perlawanan rakyat Bangka (tahun 1848-1851) untuk
ditetapkan dan diberi anugrah oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada
tahun 2004, walaupun sebenarnya secara de facto pengakuan masyarakat tentang
kepahlawanannya tidak diragukan lagi. Namun usulan tersebut belum berhasil
dengan alasan bahwa latar belakang penyebab perang yang dipimpin Depati Amir
adalah masalah pribadi dan dalam perjuangannya terselip upaya untuk menuntut
hak berupa Gaji ayahnya (Depati Bahrin) yang tidak dibayar oleh pemerintah
Belanda (perang rakyat Bangka melawan
Belanda yang dipimpin Depati Bahrin
dihentikan pada tahun 1828 karena Belanda ingin lebih berkonsentrasi menghadapi
perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830. Pemerintah
Belanda kemudian memberikan kompensasi kepada Depati Bahrin berupa pemberian
gaji dan gaji inilah yang dituntut oleh Depati Amir).
Penilaian terhadap fakta sejarah di atas yang
menyebabkan gagalnya usulan Depati Amir sebagai Pahlawan Nasional sangat
subjektif dan tidak adil serta perlu dilakukan penjelasan kembali, sebagai
contoh, Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II yang dibuang pemerintah Belanda
ke Ternate hingga wafat pada tanggal 26 November 1852 masih mendapatkan
tunjangan dari pemerintah Belanda sebesar f.800 dan beliau dianugrahi gelar
sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Kemudian pada tahun 2005 pengusulan
Depati Amir sebagai Pahlawan tidak dilaksanakan dan pada tahun 2006 adalagi
upaya untuk pengusulan oleh pemerintah propinsi Bangka Belitung, akan tetapi
sampai saat ini tidak diketahui sejauh mana perkembangannya.
Untuk menjadi seorang pahlawan tentu saja
bukanlah suatu hal yang dicita citakan oleh Depati Amir. Cita citanya pada saat
berperang melawan Belanda adalah untuk mencapai satu tujuan akhir yang disebut
dengan eschaton (mencapai suatu kondisi masyarakat yang adil, makmur dan
terlepasnya rakyat Bangka dari belenggu penderitaan akibat penjajahan). Rakyat dan pemerintah propinsi Bangka
Belitunglah yang saat ini harus berjuang
keras agar Depati Amir dapat menjadi Pahlawan Nasional. Harus diingat bahwa
kita jangan sekali sekali melupakan sejarah dan kalau mau dikatakan sebagai
bangsa yang besar maka harus dapat menghargai jasa pahlawannya.
*) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Pangkalpinang
0 komentar:
Posting Komentar